Kemalasan Pada Anak
7/13/2012 5:41:02 AM
Apa sebab anak malas belajar???
Faktor yang menyebabkan anak menjadi malas belajar antara lain, Faktor internal misalnya
- Terkait dengan potensi anak, misalnya anak memang sudah bisa menguasai sebuah materi sehingga membuat anak merasa tidak perlu belajar lagi; atau tidak bisa menguasai suatu materi sehingga membuat anak merasa kesulitan belajar dan ujung-ujungnya menjadi malas;
- Terkait dengan minat anak, anak tidak tertarik pada suatu materi tertentu;
- Terkait dengan kesehatan, misalnya anak merasa lelah, kondisi fisik kurang prima;
- Terkait dengan psikologis anak, misalnya anak kurang motivasi
Faktor eksternal misalnya - kurang stimulasi atau motivasi belajar dari orangtua di rumah ataupun guru di sekolah,
- lingkungan sosial yang tidak mendukung misalnya terlalu banyak distraksi di dalam rumah (ada banyak ‘godaan’ bermain)
- kurangnya kedisiplinan belajar di rumah
Perlu kejelian orangtua dan guru untuk melihat apakah anak malas pada semua mata pelajaran secara keseluruhan atau hanya pada mata pelajaran tertentu agar orangtua lebih mudah dalam mengarahkan rutinitas belajar anak. Jika anak malas belajar pada semua mata pelajaran, kemungkinan besar anak merasa kurang termotivasi atau mengalami suatu hambatan dalam belajar. Jika anak malas hanya pada suatu mata pelajaran tertentu, maka bisa jadi itu adalah kelemahan anak sehingga perlu proses yang lebih lama dan cara belajar yang berbeda.
Tidak ada satu cara yang terbukti 100% efektif dalam mengatasi kemalasan anak, yang dapat dilakukan oleh orangtua adalah meningkatkan kedisiplinan dalam belajar, membuat anak merasa nyaman untuk belajar, dan memberikan dukungan pada anak.
jika dia tidak menyukai salah satu dari bidang mata pelajaran apakah dapat diubah hal tersebut menjadi suka?bagaimana caranya.
Jika berbicara mengenai kesukaan, tampaknya sulit untuk mengubah preferensi seseorang, tentunya sebagai orangtua kita tidak bisa memaksa agar anak yang tidak suka matematika menjadi suka matematika. Akan tetapi, yang bisa dilakukan adalah membuat anak menjadi nyaman dan tidak merasa kesulitan dalam mempelajari pelajaran yang tidak disukainya. Jadi, walaupun anak tidak suka mata pelajaran tersebut tetapi ia masih mampu mengikuti mata pelajaran tersebut. Boleh kan, anak bisa/mampu belahar matematika, tetapi sebenarnya ia tidak suka pelajaran matematika, begitu pula sebaiknya.
Ada berbagai macam cara yang populer saat ini telah tersedia di media massa. Yang penting prinsipnya adalah
- Belajar menyenangkan karena sesuai dengan gaya belajar anak. Ada 4 jenis gaya belajar anak, yaitu Visual, Auditory, Read/Write, dan Kinestetik. Visual artinya anak lebih mudah menangkap informasi dengan menggunakan indera penglihatan, misalnya dengan menonton sebuah video, gambar, skema, bagan. Auditory artinya anak lebih mudah menangkap informasi dengan menggunakan indera pendengaran, misalnya dengan mendengarkan penjelasan dari guru/orangtua, mendengarkan soal-soal cerita. Read/Write artinya anak lebih mudah menangkap informasi dengan menulis atau membaca, misalnya agar lebih mudah menghafal maka anak akan menulis ulang berkali-kali atau membaca berulang-ulang materi yang dipelajarinya. Kinestetik artinya anak lebih mudah menangkap informasi dengan gerakan, misalnya melakukan eksperimen sederhana, membuat kubus dari karton.
- Belajar menjadi fun karena menggunakan berbagai macam metode, tidak hanya sekedar membaca buku dan membuat soal latihan, tetapi dengan praktek, eksperimen, bahkan bermain game. Di internet, terdapat berbagai macam variasi soal yang menarik bagi anak.
- Jika anak suka belajar berkelompok bisa bermain perlombaan, misalnya siapa yang paling cepat menyelesaikan soal. Jika anak lebih suka belajar sendiri, maka orangtua dapat menemani anak.
Anak yang mengalami gangguan belajar sering kali akan menunjukkan gangguan perilaku, apa saja itu???
Gangguan belajar (atau learning disorder), juga dikenal dengan kesulitan belajar akademik, memang akan tampak dalam perilaku belajar anak. Ada tiga gangguan belajar fungsional yaitu dyslexia, dyscalculia, dan dysgraphia. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
Dyslexia
- Anak kesulitan dalam membaca atau mengenali huruf
- Tendensi terbalik: misalnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi n, m menjadi w dan sebagainya
- Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yang mirip
- Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Bila diberi huruf cetak untuk menyusun kata mengalami kesulitan misalnya kata ibu menjadi ubi atau iub
- Hasil tes membaca buruk
Dyscalculia
- Anak kesulitan untuk mengingat urutan angka 1-10
- Kesulitan untuk mengenal lambang operasi misalnya + – x ÷
- Kesulitan mengenal atau membaca jam/waktu
- Kesulitan untuk berhitung secara berantai misalnya kelipatan 5: 5,10,15,20 dsb
Dysgraphia
- Kesulitan untuk mengubah imajinasi huruf ke dalam tulisan dalam bentuk kata/kalimat
- Kesalahan dalam menyalin catatan
- Mengalami masalah tentang kerapian dan konsistensi dalam mencatat/menulis
Apakah hal ini bisa berdampak pada orang-orang di sekitarnya (keluarga, guru dan teman-teman sebaya) ???
Tentu saja, dampaknya akan menyebar baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah, sebab anak tidak hanya berada dalam lingkungan rumah tetapi juga menghabiskan sebagian waktu nya setiap hari bersama guru dan teman-temannya.
Dampak kemalasan anak tentunya akan membuat guru dan orangtua merasa frustasi menghadapi tingkah laku anak sehingga memicu timbulnya kekerasan dalam mendisiplinkan anak. Anak akan cenderung dianggap atau di cap “anak nakal”, dipukul atau dicubit bahkan dicacimaki. Akhirnya akan merusak kepercayaan diri anak.
Ada sebuah film terbitan Indonesia yang menceritakan siklus dampak anak yang mengalami gangguan belajar, judulnya Ikhsan: Mama I Love You (2008). Film tersebut sangat bagus dan memberikan inspirasi bagi guru, orangtua maupun teman sebaya.
Dalam hal penanganan secara komprehensif untuk mengatasi kemalasan atau kesulitan belajar anak, tentunya sangat memerlukan kerjasama yang memadai dari berbagai pihak keluarga, guru dan teman-teman sebaya. Oleh karena itu, sistem yang saling mendukung sangat dibutuhkan.
Untuk itu apakah anak perlu selalu didampingi orang tua dan guru untuk menghadapi situasi ini? sejauh apa perannya?
Anak perlu didampingi sebatas kesulitannya dalam belajar, mendukung dan menciptakan suasana belajar yang nyaman, tidak mendesak juga tidak membiarkan.
Bukan berarti ketika anak malas/sulit mengerjakan PR maka orangtuanya yang mengerjakan PR (menggantikan anaknya) agar anak tidak dihukum di sekolah. Ada kalanya membiarkan anak menerima konsekuensi atas perilakunya, akan membangun sebuah kematangan dan pemahaman yang lebih baik.
Anak itu aktif dan memiliki kesempatan berkembang sangat pesat, sehingga biarkan anak berkembang secara alami, guru dan orangtua memfasilitasi mereka untuk mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki.
Berapa jam idealnya anak belajar setiap hari?
Otak akan lebih banyak menyerap informasi ketika kondisi seseorang secara fisik terpenuhi (tidak lapar, tidak haus, tidak lelah) dan kondisi emosional stabil (rileks). 5-6 jam belajar di sekolah yang banyak menggunakan otak kiri (logika, eksakta, struktur) akan membuat anak lelah, sehingga belajar sesaat setelah pulang sekolah menjadi tidak efektif. Jam ideal untuk belajar bervariasi pada setiap anak. Hendaknya sepulang sekolah, biarkan anak makan siang dan membuat dirinya rileks atau istirahat lebih dulu (bisa dengan bersantai, tidur siang, atau mengerjakan aktivitas hobinya). Istirahat atau mengerjakan hobi akan menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan. Setelah itu, baru lah mulai belajar, mungkin sekitar jam 3-5 sore hari. Selain itu, usahakan belajar menjadi bagian rutinitas anak, cukup 1-2 jam saja. Walaupun tidak ada PR atau ulangan harian, usahakan anak maksimal dalam menggunakan waktu belajarnya, misalnya dengan cara mempelajari topik/bahasan di luar sekolah yang disukai oleh anak bisa tentang astronomi, melihat peta dunia dll. Dengan demikian, waktu di malam hari bisa digunakan untuk aktivitas keluarga, misalnya bermain kartu bersama, dll.
Bagaimana caranya menguragi waktu bermain anak?
Membentuk rutinitas anak sangat berperan penting dalam membatasi waktu bermain dan menciptakan waktu belajar bagi anak. Ajaklah anak bersama-sama membuat jadwal harian, kapan boleh bermain, kapan harus belajar. Buatlah aturan rumah mengenai apa yang boleh dan tidak boleh anak lakukan selama bermain atau belajar. Buat perjanjian dengan anak agar ia mau mematuhinya, misalnya jika ia berhasil belajar selama 1 jam maka ia akan mendapatkan 10 menit tambahan bermain di jam berikutnya. Aturan-aturan ini sangat fleksibel dan jangan dijalankan secara ketat, sebab anak akan menjadi terlalu tertekan. Intinya, anak boleh bermain asalkan ia juga melakukan tugas belajarnya. Selain itu, waktu bermain anak dapat diisi dengan permainan edukatif sehingga waktu bermain anak tidak terbuang sia-sia begitu saja.
Dengan demikian, prinsip belajar sambil bermain adalah yang paling sesuai bagi anak-anak.
***telah di terbitkan dalam Radar Tarakan 2012***